Kedewasaan psikologis remaja idealnya dibentuk sejak masa pra-pubertas lewat
pendidikan yang bisa menumbuhkan karakter dan perilaku dewasa pada
anak. Oleh karena itu, perlu diteliti aspek-aspek apa saja yang
membedakan antara anak-anak dan orang dewasa. Kami sendiri berpandangan
aspek-aspek dasar yang membedakan kedua kelompok usia meliputi empat
hal, yaitu identitas diri, tujuan hidup (serta visi), pertimbangan dalam
memilih, serta tanggung jawab.
Pendidikan remaja perlu memperhatikan tumbuh sehatnya keempat aspek ini
dan memulainya sejak anak belum lagi menginjak usia remaja. Berikut ini
akan dibahas keempat aspek tersebut satu demi satu.
1. Identitas diri
Anak-anak pra-pubertas biasanya belum berpikir tentang identitas atau
jati dirinya, karena mereka belum memiliki kemandirian, termasuk dalam
persoalan identitas. Anak-anak mengidentifikasi dirinya dengan orang
tuanya. Mungkin bisa dianggap bahwa identitas anak-anak pra-pubertas
sama dengan identitas orang tuanya. Namun, ketika anak memasuki fase
kedewasaan biologis (baligh/ puber), ia mulai merasakan adanya tuntutan
untuk mandiri, termasuk dalam persoalan identitas. Apa yang sebelumnya
belum terlintas di dalam pikiran, kini mulai menjadi hal yang serius.
Pertanyaan seperti ”siapa saya sebenarnya?” dan ”apa tujuan hidup saya?”
mulai menuntut jawaban-jawaban yang mandiri.
Pada titik ini, idealnya remaja sudah siap untuk menjadi mandiri dan
dewasa. Seorang yang memiliki karakter dewasa tidak merasa bingung
dengan identitas dirinya. Ia mengetahui dengan baik siapa dirinya dan
apa yang menjadi tujuan hidupnya. Identitas pada diri orang dewasa tadi
menjadi kokoh seiring dengan terbentuknya nilai-nilai (values) serta prinsip-prinsip yang mendukung.
Dalam kaitannya dengan identitas, seseorang biasanya akan mengaitkan
dirinya dengan salah satu dari hal berikut: agama atau ideologi, suku
atau bangsa, serta profesi. Seorang santri misalnya, ia akan cenderung
menyatakan ”Saya adalah seorang Muslim” saat ditanya tentang siapa
dirinya. Adapun oang yang hidup dalam komunitas kesukuan yang kental
akan lebih mengaitkan identitas dirinya dengan sukunya. Seseorang bisa
saja memiliki lebih dari satu identitas pada saat yang bersamaan –
misalnya sebagai Muslim, sebagai orang Jawa, dan sebagai pengusaha
sekaligus – tetapi biasanya ada satu identitas yang lebih bersifat
dominan dan menjadi identitas utama.
Suatu identitas perlu dikokohkan oleh nilai-nilai (values)
serta prinsip yang mendukungnya, sebab kalau tidak demikian, maka
identitas tersebut hanya akan bersifat artifisial dan tidak konsisten.
Sebagai contoh, misalnya seorang menyatakan bahwa identitas utamanya
adalah Muslim, tetapi ia tidak memahami nilai-nilai dan prinsip-prinsip
Islam serta banyak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan agamanya.
Oleh karena itu, membangun identitas diri pada anak harus dilakukan
dengan membangun nilai-nilai serta prinsip-prinsip yang menopang
tegaknya identitas tersebut.
Anak-anak perlu dibangun identitasnya sejak kecil, baik di rumah
maupun di sekolah, sehingga ketika mereka memasuki usia baligh, mereka
sudah memiliki identitas diri yang kokoh dan tak lagi mudah
terombang-ambing dalam hidup. Psikologi Islam tentu merekomendasikan
agama Islam sebagai identitas utama bagi setiap orang. Dan karena itu,
nilai-nilai serta prinsip-prinsip utama Islam perlu dirumuskan dan
ditanamkan secara bertahap pada anak. Jika proses penenaman dan
pewarisan nilai ini berjalan dengan baik, maka anak tidak akan lagi
mengalami krisis identitas saat memasuki usia belasan tahun.
2. Tujuan dan Visi dalam Hidup
Adanya tujuan dan visi dalam hidup juga sangat membantu terbentuknya
identitas diri dan kedewasaan pada diri seseorang. Anak-anak
pra-pubertas biasanya belum berpikir tentang tujuan dan visi hidup.
Mereka masih bergantung pada tujuan dan rencana-rencana orang tuanya.
Orang yang memiliki karakter dewasa mengetahui dengan baik apa-apa yang
menjadi tujuan dan cita-citanya, walaupun tidak semua orang yang berusia
dewasa dapat dipastikan memiliki ciri-ciri ini. Tujuan dan visi juga
terkait erat dengan identitas diri. Jika seseorang menjadikan agama
sebagai identitas, maka cita-cita hidupnya juga tentu akan merujuk pada
nilai-nilai agama. Jika ia menjadikan profesi dan pekerjaan sebagai
identitas, maka cita-cita hidupnya juga tentu merujuk pada profesi dan
pekerjaannya.
Dalam konteks pendidikan kedewasaan remaja, idealnya seseorang telah
diorientasikan untuk berpikir tentang tujuan dan cita-citanya sejak ia
masih anak-anak dan belum memasuki masa puber. Bila tujuan hidup serta
visi yang tinggi ditanamkan kepada anak secara terus menerus, maka pada
saat anak sudah mulai harus mandiri, yaitu pada masa baligh, ia akan
memiliki arah hidup yang jelas. Ia tak lagi merasa bingung dengan apa
yang sesungguhnya menjadi keinginannya, sebagaimana yang seringkali
dialami oleh remaja-remaja modern.
Pihak orang tua maupun guru di sekolah tidak boleh meremehkan
cita-cita seorang anak yang sangat tinggi dan tampak mustahil. Mereka
justru harus memandangnya secara positif dan mendorongnya, sambil
mengarahkan anak pada langkah-langkah yang harus dipenuhi untuk mencapai
cita-cita tadi – tentunya sesuai dengan kapasitas berpikir dan
bertindak mereka. Dengan demikian, sejak awal anak-anak dan remaja akan
disibukkan dengan tujuan dan cita-cita mereka, sehingga tak lagi
memiliki banyak kesempatan untuk membuang-buang waktu mereka tanpa
adanya tujuan yang jelas.
3. Pertimbangan dalam Memilih
Al-Qur’an mengajarkan bahwa ada dua dasar pertimbangan dalam memilih,
yaitu berdasarkan suka-tak suka atau berdasarkan baik-buruk. Al-Qur’an,
serta akal sehat kita, mengajarkan bahwa pertimbangan baik-buruk lebih
baik daripada pertimbangan berdasarkan suka-tak suka. ”Boleh jadi kamu
membenci sesuatu padahal ia baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai
sesuatu padahal ia buruk bagimu. Dan Allah mengetahui sedang kamu tidak
mengetahui.” (Al-Baqarah [2]: 216).
Anak-anak cenderung memilih sesuatu berdasarkan pertimbangan suka-tak
suka. Bila ia menyukai sesuatu, maka ia akan menginginkan dan berusaha
untuk mendapatkannya. Bila ia tak menyukainya, maka ia akan berusaha
menolaknya walaupun sesuatu itu mungkin baik untuknya. Orang yang
memiliki karakter dewasa memilih dengan dasar pertimbangan yang berbeda.
Mereka menimbang sesuatu berdasarkan baik buruknya. Walaupun ia
cenderung pada sesuatu, ia akan mengindarinya sekiranya itu buruk bagi
dirinya. Tentu saja ini merupakan sebuah gambaran yang ideal. Pada
realitanya, banyak juga dijumpai orang-orang yang berusia dewasa tetapi
melakukan hal-hal yang buruk hanya karena mereka menyukai hal-hal
tersebut.
Pendidikan yang baik seharusnya mampu mengarahkan anak setahap demi
setahap untuk mengubah dasar pertimbangannya dari suka-tak suka menjadi
baik-buruk. Dalam hal ini, komunikasi dengan anak memainkan peranan yang
sangat vital. Kepada anak-anak perlu dijelaskan alasan baik-buruknya
mengapa sesuatu tidak boleh dilakukan atau mengapa sesuatu harus
dilakukan. Dengan demikian mereka memahami alasan baik-buruk di balik
boleh atau tidaknya suatu pilihan.
Kepada mereka juga perlu dijelaskan konsekuensi dari pilihan-pilihan
yang ada. Biarkan anak melihat pilihan yang mereka miliki, yang baik
serta yang buruk, berikut resiko yang ada di baliknya. Ajak anak untuk
menetapkan sendiri pilihannya, bukannya memaksakan pilihan-pilihan yang
kita buat, dengan demikian ia akan menjadi lebih bertanggung jawab
dengan pilihan-pilihan yang diambilnya itu. Semua proses ini akan
membantu kematangan berpikir anak dan menjadikannya lebih bertanggung
jawab. Setiap kali ia hendak menentukan pilihan, ia sudah terlatih
dengan kebiasaan berpikir yang berorientasi pada pertimbangan
baik-buruk. Dengan demikian, ketika ia menginjak usia belasan tahun, ia
sudah bisa mengambil keputusan-keputusan yang positif secara mandiri. Ia
tidak akan mudah terombang-ambing dengan ajakan-ajakan orang lain yang
tidak menguntungkan bagi kepentingan jangka panjangnya dan juga tidak
akan menentukan pilihan-pilihan secara asal dan tak bertanggung jawab.
4. Tanggung Jawab
Setiap orang melewati beberapa fase tanggung jawab dalam perjalanan
hidupnya. Ketika masih anak-anak dan belum memiliki kemampuan untuk
mengemban tanggung jawab, maka orang tuanyalah yang memikul tanggung
jawab untuknya, sampai ia mampu memikulnya sendiri. Fase ini bisa
disebut sebagai fase pra-tanggung jawab. Ketika anak beranjak dewasa,
kemampuannya dalam memikul tanggung jawab juga meningkat. Pada saat itu,
sebagian dari tanggung jawab, yaitu tanggung jawab yang sudah mulai
bisa dipikulnya, bisa didelegasikan oleh orang tua kepada anak. Fase ini
bisa disebut fase tanggung jawab parsial.
Ketika seseorang sudah hidup mandiri sepenuhnya, dalam arti ia sudah
menikah dan bermatapencaharian, maka ia memasuki fase tanggung jawab
penuh. Tanggung jawab sudah didelegasikan kepadanya secara penuh.
Akhirnya, seseorang bisa memperluas tanggung jawabnya sesuai dengan
kapasitas dirinya. Ia bisa menjadi pemimpin di lingkungan keluarga
besarnya, di lingkungan masyarakatnya, bahkan di tingkat nasional atau
internasional. Fase ini bisa disebut sebagai fase perluasan tanggung
jawab (lihat Bagan 3).
Setiap orang tentu tidak melompat dari fase tanggung jawab yang satu
ke fase berikutnya secara mendadak. Karenanya, sebelum memasuki fase
yang lebih tinggi, ia perlu dipersiapkan dengan latihan-latihan tanggung
jawab tertentu. Anak perlu ditumbuhkan kepekaan tanggung jawabnya (sense of responsibility), bukan dibebani secara terus menerus dengan bentuk-bentuk tanggung jawab (forms of responsibility).
Sekiranya pada diri anak terbangun rasa memiliki tanggung jawab serta
rasa bangga dalam mengemban tanggung jawab, maka ia akan lebih mudah
menerima berbagai bentuk tanggung jawab yang dilimpahkan kepadanya.
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, anak perlu diberi
latihan-latihan tanggung jawab yang sesuai dengan kapasitasnya, serta
diarahkan untuk merasa senang dengan pemenuhan tanggung jawab itu.
Anak-anak yang tumbuh tanpa pembiasaan tanggung jawab semacam ini akan
cenderung merasa berat dan memberontak pada saat ia harus menerima apa
yang menjadi tanggung jawabnya. Ia memiliki kapasitas untuk mengemban
tanggung jawab tertentu, tetapi malah bersikap tidak dewasa dengan
membenci dan menolak tanggung jawab itu atas dirinya. Semua itu terjadi
karena ia tidak pernah dididik dan dipersiapkan untuk mengemban tanggung
jawab yang lebih besar. Maka dari itu, pendidikan remaja dalam konteks
Psikologi Islam perlu membangun kedewasaan anak dengan cara menumbuhkan
rasa tanggung jawab (sense of responsibility) serta memberikan latihan-latihan tanggung jawab sejak dini.
Agar anak tidak terbebani dengan proses percepatan kedewasaan
psikologis dan sosial, bentuk-bentuk tanggung jawab yang telah diberikan
secara berlebihan pada kebanyakan anak modern juga perlu dikurangi.
Anak-anak perlu diberi kesempatan yang cukup untuk bermain secara sehat
hingga ia berusia tujuh tahun. Dengan demikian, proses pertumbuhan
mereka akan berlangsung dengan baik dan sehat, sehingga terjadinya
gejolak yang berlebihan di masa remaja akan dapat dihindari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar