Rabu, 31 Oktober 2012

Pendidikan dan Remaja

Pendidikan pada umumnya salah satu sektor yang paling penting dalam sebuah Negara. Terutama bagi Negara Indonesia karena Negara ini telah mengalami ketertinggalan dalam sektor pendidikan. Sektor pendidikan harus ditingkatkan karena dengan pendidikan yang baik, calon-calon generasi penerus bangsa akan mampu menjadikan Negara ini lebih baik dimasa yang akan datang. Perlu diakui, Negara ini mengalami ketertinggalan cukup serius di bidang pendidikan dibanding Negara lain. Berbicara di bidang pendidikan berarti kita berbicara mengenai masa depan bangsa yang nantinya akan dilakukan oleh generasi penerus bangsa. Maka dari itu, sektor pendidikan harus pro aktif dalam mencari segala informasi mengenai kemajuan di sektor pendidikan agar Indonesia dapat mengejar ketertinggalannya dan mempercepat proses pemberdayaan sekolah secara konprehensif dan integrasi.

Pendidikan adalah hal terpenting di dalam sebuah Negara terutama bagi remaja di Indonesia. Karena dengan pendidikan yang lebih baik, akan menjadikan para remaja sebagai calon-calon generasi penerus bangsa di masa yang akan datang. Apabila remaja-remaja khususnya di Indonesia tidak mau mengenyam bangku pendidikan, ini akan menjadi suatu problema besar bagi Negara ini karena akan sangat sulit mencari bakal-bakal calon pemimpin untuk Negara ini. Jika kita membiarkan problema ini terus bergulir, ini akan membuat para remaja mengalami kesulitan di jaman era globalisasi ini dengan kemajuan teknologi yang begitu tinggi.

Pendidikan di Indonesia mengalami keterpurukan yang cukup serius, kita dapat melihat dari beberapa hal, seperti menurunnya moral remaja dan budaya asing yang tidak dapat diserap dengan baik. Alhasil banyak remaja yang terjerumus kedalam pergaulan bebas, sex bebas, narkotika, rokok, dan kekerasan. Pendidikan kepada remaja harus dilakukan dengan cara memberikan dorongan atau motivasi melalui beberapa pihak, seperti orang tua, teman , sahabat dan lingkungan sekitarnya. Karena pendidikan apabila dipaksakan tidak akan membuahkan hasil yang baik. Lingkungan sekitar yang baik akan memberikan motivasi yang baik juga kepada para remaja , sebaliknya apabila lingkungan sekitarnya memberikan motivasi buruk itu akan membuat para remaja terjerumus ke jalan yang akan merugikan mereka. Maka dari itu, bimbingan orang tua menjadi prioritas utama dari pada pendidikan yang dipaksakan.

Fase remaja dikatakan sebagai fase labil karena mereka mudah terpengaruhi oleh pergaulan disekitar mereka. Dengan pendidikan yang baik disertakan bimbingan orang tua , diharapkan para remaja dapat membedakan mana yang baik serta mana yang buruk untuk kehidupan mereka dan diharapkan mereka dapat membagi waktu antara hiburan dan belajar. Hiburan dan belajar kedua nya sangat dibutuhkan oleh kalangan remaja, asalkan jumlah intensitas bermain tidak lebih banyak dari jumlah waktu intensitas belajar.

Selasa, 30 Oktober 2012

Psikologis Remaja

Kedewasaan psikologis remaja idealnya dibentuk sejak masa pra-pubertas lewat pendidikan yang bisa menumbuhkan karakter dan perilaku dewasa pada anak. Oleh karena itu, perlu diteliti aspek-aspek apa saja yang membedakan antara anak-anak dan orang dewasa. Kami sendiri berpandangan aspek-aspek dasar yang membedakan kedua kelompok usia meliputi empat hal, yaitu identitas diri, tujuan hidup (serta visi), pertimbangan dalam memilih, serta tanggung jawab. Pendidikan remaja perlu memperhatikan tumbuh sehatnya keempat aspek ini dan memulainya sejak anak belum lagi menginjak usia remaja. Berikut ini akan dibahas keempat aspek tersebut satu demi satu.

1. Identitas diri
Anak-anak pra-pubertas biasanya belum berpikir tentang identitas atau jati dirinya, karena mereka belum memiliki kemandirian, termasuk dalam persoalan identitas. Anak-anak mengidentifikasi dirinya dengan orang tuanya. Mungkin bisa dianggap bahwa identitas anak-anak pra-pubertas sama dengan identitas orang tuanya. Namun, ketika anak memasuki fase kedewasaan biologis (baligh/ puber), ia mulai merasakan adanya tuntutan untuk mandiri, termasuk dalam persoalan identitas. Apa yang sebelumnya belum terlintas di dalam pikiran, kini mulai menjadi hal yang serius. Pertanyaan seperti ”siapa saya sebenarnya?” dan ”apa tujuan hidup saya?” mulai menuntut jawaban-jawaban yang mandiri.
Pada titik ini, idealnya remaja sudah siap untuk menjadi mandiri dan dewasa. Seorang yang memiliki karakter dewasa tidak merasa bingung dengan identitas dirinya. Ia mengetahui dengan baik siapa dirinya dan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Identitas pada diri orang dewasa tadi menjadi kokoh seiring dengan terbentuknya nilai-nilai (values) serta prinsip-prinsip yang mendukung.
Dalam kaitannya dengan identitas, seseorang biasanya akan mengaitkan dirinya dengan salah satu dari hal berikut: agama atau ideologi, suku atau bangsa, serta profesi. Seorang santri misalnya, ia akan cenderung menyatakan ”Saya adalah seorang Muslim” saat ditanya tentang siapa dirinya. Adapun oang yang hidup dalam komunitas kesukuan yang kental akan lebih mengaitkan identitas dirinya dengan sukunya. Seseorang bisa saja memiliki lebih dari satu identitas pada saat yang bersamaan – misalnya sebagai Muslim, sebagai orang Jawa, dan sebagai pengusaha sekaligus – tetapi biasanya ada satu identitas yang lebih bersifat dominan dan menjadi identitas utama.
Suatu identitas perlu dikokohkan oleh nilai-nilai (values) serta prinsip yang mendukungnya, sebab kalau tidak demikian, maka identitas tersebut hanya akan bersifat artifisial dan tidak konsisten. Sebagai contoh, misalnya seorang menyatakan bahwa identitas utamanya adalah Muslim, tetapi ia tidak memahami nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam serta banyak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan agamanya. Oleh karena itu, membangun identitas diri pada anak harus dilakukan dengan membangun nilai-nilai serta prinsip-prinsip yang menopang tegaknya identitas tersebut.
Anak-anak perlu dibangun identitasnya sejak kecil, baik di rumah maupun di sekolah, sehingga ketika mereka memasuki usia baligh, mereka sudah memiliki identitas diri yang kokoh dan tak lagi mudah terombang-ambing dalam hidup. Psikologi Islam tentu merekomendasikan agama Islam sebagai identitas utama bagi setiap orang. Dan karena itu, nilai-nilai serta prinsip-prinsip utama Islam perlu dirumuskan dan ditanamkan secara bertahap pada anak. Jika proses penenaman dan pewarisan nilai ini berjalan dengan baik, maka anak tidak akan lagi mengalami krisis identitas saat memasuki usia belasan tahun.

2. Tujuan dan Visi dalam Hidup
Adanya tujuan dan visi dalam hidup juga sangat membantu terbentuknya identitas diri dan kedewasaan pada diri seseorang. Anak-anak pra-pubertas biasanya belum berpikir tentang tujuan dan visi hidup. Mereka masih bergantung pada tujuan dan rencana-rencana orang tuanya. Orang yang memiliki karakter dewasa mengetahui dengan baik apa-apa yang menjadi tujuan dan cita-citanya, walaupun tidak semua orang yang berusia dewasa dapat dipastikan memiliki ciri-ciri ini. Tujuan dan visi juga terkait erat dengan identitas diri. Jika seseorang menjadikan agama sebagai identitas, maka cita-cita hidupnya juga tentu akan merujuk pada nilai-nilai agama. Jika ia menjadikan profesi dan pekerjaan sebagai identitas, maka cita-cita hidupnya juga tentu merujuk pada profesi dan pekerjaannya.
Dalam konteks pendidikan kedewasaan remaja, idealnya seseorang telah diorientasikan untuk berpikir tentang tujuan dan cita-citanya sejak ia masih anak-anak dan belum memasuki masa puber. Bila tujuan hidup serta visi yang tinggi ditanamkan kepada anak secara terus menerus, maka pada saat anak sudah mulai harus mandiri, yaitu pada masa baligh, ia akan memiliki arah hidup yang jelas. Ia tak lagi merasa bingung dengan apa yang sesungguhnya menjadi keinginannya, sebagaimana yang seringkali dialami oleh remaja-remaja modern.
Pihak orang tua maupun guru di sekolah tidak boleh meremehkan cita-cita seorang anak yang sangat tinggi dan tampak mustahil. Mereka justru harus memandangnya secara positif dan mendorongnya, sambil mengarahkan anak pada langkah-langkah yang harus dipenuhi untuk mencapai cita-cita tadi – tentunya sesuai dengan kapasitas berpikir dan bertindak mereka. Dengan demikian, sejak awal anak-anak dan remaja akan disibukkan dengan tujuan dan cita-cita mereka, sehingga tak lagi memiliki banyak kesempatan untuk membuang-buang waktu mereka tanpa adanya tujuan yang jelas.

3.  Pertimbangan dalam Memilih
Al-Qur’an mengajarkan bahwa ada dua dasar pertimbangan dalam memilih, yaitu berdasarkan suka-tak suka atau berdasarkan baik-buruk. Al-Qur’an, serta akal sehat kita, mengajarkan bahwa pertimbangan baik-buruk lebih baik daripada pertimbangan berdasarkan suka-tak suka. ”Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia buruk bagimu. Dan Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah [2]: 216).
Anak-anak cenderung memilih sesuatu berdasarkan pertimbangan suka-tak suka. Bila ia menyukai sesuatu, maka ia akan menginginkan dan berusaha untuk mendapatkannya. Bila ia tak menyukainya, maka ia akan berusaha menolaknya walaupun sesuatu itu mungkin baik untuknya. Orang yang memiliki karakter dewasa memilih dengan dasar pertimbangan yang berbeda. Mereka menimbang sesuatu berdasarkan baik buruknya. Walaupun ia cenderung pada sesuatu, ia akan mengindarinya sekiranya itu buruk bagi dirinya. Tentu saja ini merupakan sebuah gambaran yang ideal. Pada realitanya, banyak juga dijumpai orang-orang yang berusia dewasa tetapi melakukan hal-hal yang buruk hanya karena mereka menyukai hal-hal tersebut.
Pendidikan yang baik seharusnya mampu mengarahkan anak setahap demi setahap untuk mengubah dasar pertimbangannya dari suka-tak suka menjadi baik-buruk. Dalam hal ini, komunikasi dengan anak memainkan peranan yang sangat vital. Kepada anak-anak perlu dijelaskan alasan baik-buruknya mengapa sesuatu tidak boleh dilakukan atau mengapa sesuatu harus dilakukan. Dengan demikian mereka memahami alasan baik-buruk di balik boleh atau tidaknya suatu pilihan.
Kepada mereka juga perlu dijelaskan konsekuensi dari pilihan-pilihan yang ada. Biarkan anak melihat pilihan yang mereka miliki, yang baik serta yang buruk, berikut resiko yang ada di baliknya. Ajak anak untuk menetapkan sendiri pilihannya, bukannya memaksakan pilihan-pilihan yang kita buat, dengan demikian ia akan menjadi lebih bertanggung jawab dengan pilihan-pilihan yang diambilnya itu. Semua proses ini akan membantu kematangan berpikir anak dan menjadikannya lebih bertanggung jawab. Setiap kali ia hendak menentukan pilihan, ia sudah terlatih dengan kebiasaan berpikir yang berorientasi pada pertimbangan baik-buruk. Dengan demikian, ketika ia menginjak usia belasan tahun, ia sudah bisa mengambil keputusan-keputusan yang positif secara mandiri. Ia tidak akan mudah terombang-ambing dengan ajakan-ajakan orang lain yang tidak menguntungkan bagi kepentingan jangka panjangnya dan juga tidak akan menentukan pilihan-pilihan secara asal dan tak bertanggung jawab.

4. Tanggung Jawab
 Setiap orang melewati beberapa fase tanggung jawab dalam perjalanan hidupnya. Ketika masih anak-anak dan belum memiliki kemampuan untuk mengemban tanggung jawab, maka orang tuanyalah yang memikul tanggung jawab untuknya, sampai ia mampu memikulnya sendiri. Fase ini bisa disebut sebagai fase pra-tanggung jawab. Ketika anak beranjak dewasa, kemampuannya dalam memikul tanggung jawab juga meningkat. Pada saat itu, sebagian dari tanggung jawab, yaitu tanggung jawab yang sudah mulai bisa dipikulnya, bisa didelegasikan oleh orang tua kepada anak. Fase ini bisa disebut fase tanggung jawab parsial.
Ketika seseorang sudah hidup mandiri sepenuhnya, dalam arti ia sudah menikah dan bermatapencaharian, maka ia memasuki fase tanggung jawab penuh. Tanggung jawab sudah didelegasikan kepadanya secara penuh. Akhirnya, seseorang bisa memperluas tanggung jawabnya sesuai dengan kapasitas dirinya. Ia bisa menjadi pemimpin di lingkungan keluarga besarnya, di lingkungan masyarakatnya, bahkan di tingkat nasional atau internasional. Fase ini bisa disebut sebagai fase perluasan tanggung jawab (lihat Bagan 3).
Setiap orang tentu tidak melompat dari fase tanggung jawab yang satu ke fase berikutnya secara mendadak. Karenanya, sebelum memasuki fase yang lebih tinggi, ia perlu dipersiapkan dengan latihan-latihan tanggung jawab tertentu. Anak perlu ditumbuhkan kepekaan tanggung jawabnya (sense of responsibility), bukan dibebani secara terus menerus dengan bentuk-bentuk tanggung jawab (forms of responsibility). Sekiranya pada diri anak terbangun rasa memiliki tanggung jawab serta rasa bangga dalam mengemban tanggung jawab, maka ia akan lebih mudah menerima berbagai bentuk tanggung jawab yang dilimpahkan kepadanya.
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, anak perlu diberi latihan-latihan tanggung jawab yang sesuai dengan kapasitasnya, serta diarahkan untuk merasa senang dengan pemenuhan tanggung jawab itu. Anak-anak yang tumbuh tanpa pembiasaan tanggung jawab semacam ini akan cenderung merasa berat dan memberontak pada saat ia harus menerima apa yang menjadi tanggung jawabnya. Ia memiliki kapasitas untuk mengemban tanggung jawab tertentu, tetapi malah bersikap tidak dewasa dengan membenci dan menolak tanggung jawab itu atas dirinya. Semua itu terjadi karena ia tidak pernah dididik dan dipersiapkan untuk mengemban tanggung jawab yang lebih besar. Maka dari itu, pendidikan remaja dalam konteks Psikologi Islam perlu membangun kedewasaan anak dengan cara menumbuhkan rasa tanggung jawab (sense of responsibility) serta memberikan latihan-latihan tanggung jawab sejak dini.
Agar anak tidak terbebani dengan proses percepatan kedewasaan psikologis dan sosial, bentuk-bentuk tanggung jawab yang telah diberikan secara berlebihan pada kebanyakan anak modern juga perlu dikurangi. Anak-anak perlu diberi kesempatan yang cukup untuk bermain secara sehat hingga ia berusia tujuh tahun. Dengan demikian, proses pertumbuhan mereka akan berlangsung dengan baik dan sehat, sehingga terjadinya gejolak yang berlebihan di masa remaja akan dapat dihindari.

Gejolak Psikologis Remaja

Remaja pada jaman sekarang dikatakan sebagai remaja modern karena mereka menjadi suatu kelompok usia terpisah yang memberikan diri dari kelompok usia anak-anak dan dewasa. Gejolak psikologis yang mereka alami terekspresikan keluar dalam berbagai bentuk dekadensi. Mereka jadi sulit di atur dan sering bentrok dengan orang tua. Guru dan pihak sekolah pun kesulitan untuk mengontrol pergaulan mereka. Remaja-remaja ini berkumpul dengan teman-teman seusia mereka dan menciptakan budaya teman sebaya (peer culture). Mereka merasa lebih dekat dengan teman-teman seusia mereka yang memiliki karakteristik yang sama dengan mereka. Mereka juga kurang mau mendengarkan orang tua dan orang-orang yang lebih dewasa dari mereka yang semakin hari semakin jarang berinteraksi dengan mereka dan tidak memahami gejolak perasaan mereka. Kondisi mereka yang labil seringkali mendorong teman sebayanya (peer pressure) yang cenderung menjatuhkan mereka ke berbagai hal negatif, seperti rokok, narkoba, sex bebas, kekerasan dan pergaulan bebas.

                                               







Sangat miris sekali gejolak yang terjadi pada fase remaja ini, maka dari itu peranan orang tua, guru dan orang-orang dewasa disekitar mereka sangat dibutuhkan. Biasanya orang-orang dewasa ini bingung bagaimana seharusnya menyikapi anak-anak remaja. Mau disikapi sebagai orang dewasa, mereka ternyata belum terlalu matang dan masih banyak membutuhkan bimbingan. Mau disikapi sebagai anak kecil, sangat tidak mungkin lagi mengingat perkembangan fisik mereka yang mulai menunjukkan ciri-ciri orang dewasa. akibatnya, kelompok usia remaja semakin terasing dari dunia orang dewasa yang idealnya bisa membimbing mereka menuju kematangan dan kemandirian pribadi.

Ketika memasuki usia remaja (puber), setiap anak mengalami perubahan yang signifikan pada fisiknya, terutama yang terkait pada organ-organ seksualnya. Perubahan-perubahan tersebut menimbulkan kecanggungan pada diri remaja karena mereka harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tadi. Perubahan-perubahan ini harus diberi bimbingan dan dukungan dari orang tua.

Perubahan fisik yang dibarengi dengan perubahan psikologis yang dialami oleh remaja. Pada diri mereka mulai muncul perasaan untuk mencari jati diri mereka. Jika pada masa kanak-kanak mereka tidak pernah berpikir untuk mencari jati diri mereka sendiri, maka pada masa remaja muncul lah pertanyaan-pertanyaan seperti "siapa diri saya?" dan "apa tujuan hidup saya?" menjadi suatu persoalan yang sangat penting. Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan tersebut sangatlah wajar bagi setiap orang yang memasuki fase remaja. Karena pada fase remaja sudah harus mulai mandiri, termasuk dalam hal identitas atau jati diri. Pertanyaan tersebut dapat menjadi suatu bumerang bagi mereka apabila pertanyaan tersebut tidak bisa dijawab dengan baik.

Berkenaan dengan persoalan jati diri ini, Jane Kroger mengatakan bahwa "Remaja agaknya merupakan suatu saat ... ketika seseorang dihadapkan dengan persoalan definisi diri". Sementara Kathleen White dan Joseph Speisman dalam buku mereka, Remaja, menjelaskan bahwa remaja cenderung, "bergelut dengan isu mengenai siapa dirinya dan kemana tujuannya". begitu seriusnya mereka dengan persoalan ini sehingga "barangkali hanyalah pada masa remaja saja individu dapat menjadi ahli filsafat moral yang tersendiri.

Sayangnya, hanya segelintir remaja yang benar-benar lulus sebagai "ahli filsafat moral", sementara sebagian besar lainnya justru semakin bingung dan tidak peduli dengan apapun yang ada di sekitarnya. Banyak uyang gagal dalam menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang penting dan sangat mendasar tadi. Kegagalan dalam definisi diri membuat remaja mengalami "kebingungan Peran" (role confusion) saat mecari model peran yang diikuti.

Model peran orang tua yang ideal dimasa kanak-kanak mulai mereka jauhi, terutama orang tua yang bermasalah. Remaja mulai melihat model-model peran dan identiras di luar keluarganya. Terjadi kebingungan  karena terlalu banyak pilihan peran dan nilai-nilai yang saling bertentangan satu sama lain. Bagi mereka yang tidak mendapatkan bimbingan agar dapat menentukan pilihan yang terbaik bagi kehidupan mereka sendiri. Kurang nya bimbingan , membawa remaja pada kondisi labil, rentan, dan mudah terpengaruh oleh lingkungannya. Akhirnya, banyak remaja yang terjerumus pada pergaulan bebas , sex bebas, narkotika , dan kekerasan.

Situasi seperti ini menjadi semakin buruk , karena para pengusaha bisnis hiburan atau yang disebut kaum kapitalis ini mencari keuntungan sebesar-besarnya dari remaja yang labil. para pengusaha bisnis melihat para remaja itu mendatangkan suatu permintaan (demand) dan peluang bisnis. Mereka kemudian memberiikan penawaran (supply) berupa artis dan selebritis yang memberikan identitas semu melalui film dan musik. Karena banyak remaja yang menapresiasikan para selebritis karena film, musik dan model-model karakter yang mereka anggap menarik dan pada akhirnya remaja meniru dan mengikuti model-model tersebut. Peniruan yang mereka lakukan tidak dapr menyelesaikan gejolak permasalahan pada diri mereka, melainkan mendatangkan bumerang baru dalam kehidupan mereka. Permasalahan yang terjadi pada gejolak remaja ini mendatangkan keuntungan yang besar bagi kaum kapitalis atau pengusaha hiburan, mereka akan mengalami akumulasi modal , dan sebaliknya para remaja akan mengalami akumulsi krisis.


Dengan banyaknya persoalan ini, sudah seharusnya pendidikan remaja ditingkatkan agar mereka mempunyai solusi terbaik dalam meredakan keadaan labil mereka yang penuh gejolak tadi. Sudah seharusnya kita mengevalusi posisi remaja yang dikatikan dengan sifat-sifat manusiawi dan alamiah yang seharusnya ada pada diri manusia disetiap fase nya. Adanya fase usia remaja pada jaman modern ini sebetulnya bersumber dari penundaan kedewasaan yang dipaksakan oleh masyarakat.

Kurangnya Pendidikan Moral dikalangan Remaja

Remaja mempunyai tiga aspek penting :
1) Terjadinya perubahan fisik (berkembangnya hormon dan organ-organ seksual)
2) Adanya pencarian dan pemantapan identitas diri, dan
3) Adanya persiapan menghadapi tugas dan tanggung jawab sebagai manusia yang mandiri.
3 Fase usia remaja sering dianggap sebagai fase yang sangat tidak stabil dalam tahap perkembangan manusia. G.S. Hall menyebutnya sebagai strum und drang ‘masa topan badai,’ sementara James E. Gardner menyebutnya sebagai masa turbulence (masa penuh gejolak). Penilaian ini tentu berangkat dari realitas psikologis dan sosial remaja.

Maka dari itu, pendidikan dikalangan remaja harus ditingkatkan dan dilakukan secara intensif melalui penyuluhan-penyuluhan dan seminar yang dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan. Terutama mengenai pergaulan bebas, sex bebas dan narkoba yang menghantui kalangan remaja. Problema ini mendatangkan suatu permasalahan yang besar bagi generasi penerus bangsa, karena dapat merusak moral , pendidikan , kesehatan serta agama. Kita harus memberikan pengetahuan melalui penyuluhan kepada kalangan remaja mengenai dampak buruk dari pergaulan bebas tersebut, dampak tersebut akan menjadi suatu bumerang dalam kehidupannya di masa yang akan datang.

Sangat memprihatinkan sekali, maraknya kasus pergaulan bebas yang terjadi kalangan remaja Indonesia . Kurangnya pendidikan mengenai kesehatan dan agama di kalangan remaja membuat peluang besar pergaulan bebas, sex bebas dan narkoba mendatangi kehidupan mereka.



Pendidikan mengenai pergaulan bebas, sex bebas dan narkoba sudah seharusnya tidak dianggap tabu. Karena pendidikan ini sangat dibutuhkan dikalangan remaja untuk menjadi dasar pengetahuan kehidupan mereka agar dapat menjauhi pergaulan bebas yang akan menghancurkan kehidupan mereka dimasa kini dan mendatang. Bukan hanya remaja saja yang akan merugi , keluarga serta bangsa dan negara pun akan ikut merugi karena generasi penerus bangsa ini telah di rusak moral nya oleh pergaulan bebas.

Remaja sangat mudah terpengaruhi dan terbawa arus pergaulan. Maka dari itu keluarga, teman , dan lingkungan sekitarnya sangat mempengaruhi pola pikir mereka. Pendidikan keagamaan pun sangat dibutuhkan dikalangan remaja karena dengan agama yang kuat mereka akan menjauhi pergaulan bebas yang akan menghancurkan kehidupannya.

Senin, 29 Oktober 2012

Kualitas Pendidikan di Indonesia


Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Diantara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke -102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survey dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:
1. Rendahnya sarana fisik,
2. Rendahnya kualitas guru,
3. Rendahnya kesejahteraan guru,
4. Rendahnya prestasi siswa,
5. Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
6. Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
7. Mahalnya biaya pendidikan.
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu: 
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.